Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita semua.
-----
Apa kabar para
pembaca sekalian? Saya harap para pembaca berada dalam keadaan sehat dan
gembira, serta tetap dalam keadaan bersyukur kepada Tuhan. Kembali saya menyapa
pembaca di postingan yang berlabel "Experience", yang isinya
berupa pengalaman dan perjalanan hidup yang saya alami serta informasi yang
saya dapatkan dari perjalanan hidup tersebut.
Kali ini langsung saja, saya ingin menceritakan tentang bagaimana pengalaman saya di hari saat saya menunggu pengumuman SBMPTN (saya akan menyebut selanjutnya dengan sbm saja). Oh ya, saya membagikan cerita ini karna ada request dari beberapa orang yang ada di sini dan sama sekali tidak bermaksud untuk panjat sosial, pencitraan, menyombongkan diri, sok bijak, atau merendahkan siapapun. Harus saya katakan, bahwa sebenarnya cerita ini adalah hanya sekedar kepingan kecil dari lika-liku masalah yang pernah saya alami mulai dari ketika saya mempersiapkan diri saya masuk kuliah hingga menjalani proses perkuliahan pada saat ini.
Jadi, 2017. Saat
itu pelaksanaan sbm adalah 16 Mei dan pengumumannya adalah pada tanggal 13
Juni. Tiga hari sebelum sbm (13 Mei) adalah ulang tahun saya yang ketujuh
belas. Pengumuman SNMPTN tahun lalu adalah tanggal 26 April dan saya dinyatakan
tidak lulus di pilihan keberapapun. Saat itu, 1 Ramadhan 1438 H jatuh pada 27
Mei dan 1 Syawal 1438 H jatuh pada 24 Juni. Jadi pengumuman hasil sbm setahun lalu adalah saat bulan Ramadhan.
Perlu diketahui,
saya sebenarnya sudah dinyatakan lulus di salah satu politeknik negeri di Kota
Medan lewat jalur UMPN (tes tertulis) di jurusan Teknik Sipil. Saya dinyatakan
lulus pada tanggal 6 Juni (seminggu sebelum pengumuman sbm) dan sudah
mengikuti pendaftaran ulang (7 Juni) dan pemeriksaan kesehatan (8 Juni).
Kebetulan sekali, pada tanggal 13 Juni itu kami diwajibkan melakukan wawancara
untuk menentukan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Wawancara dilakukan di kampus
politeknik tersebut.
Pada hari itu,
semua teman-teman
saya sibuk bersuara
di sosial media, apakah itu di
group chat, postingan, dan sebagainya. Sejak pagi, inti dari yang mereka bicarakan
adalah mengenai sbm saja. Mereka bercerita tentang
bagaimana deg-degannya mereka menanti hasil sbm yang saat itu akan rilis pada
jam 2 siang di internet. Tapi semua itu berbanding terbalik dengan saya. Di hari itu, saya
benar-benar berkonsentrasi bagaimana caranya
agar saya bisa melalui wawancara ukt dengan baik, karena sebelumnya saya belum pernah
menjalani wawancara. Deg-degan saya berasal dari wawancara, bukan dari
pengumuman sbm.
Jujur, sebenarnya
saat itu saya tidak terlalu yakin dengan kelulusan di sbm. “Berharap, namun tak yakin”, mungkin begitulah
perasaan saya pada saat itu. Ketidakyakinan saya bukanlah tanpa alasan. Saya
sangat sedikit sekali menjawab soal dengan benar saat saya mengikuti tes,
apalagi menjawab bagian TKD Saintek. Matematika Saintek nyaris tidak ada yang
benar sama sekali. Begitu juga dengan Bahasa Inggris dan Kimia.
Saya langsung berangkat sendiri ke
politeknik dengan angkutan umum untuk
wawancara ukt yang dimulai sekitar jam 9 pagi. Saya berusaha datang lebih awal, karena saya
berpikir bahwa pemanggilan dilakukan berdasarkan
siapa yang lebih dulu datang. Ketika
sampai disana, ternyata urutan
peserta wawancaranya dipanggil berdasarkan nomor urut yang ada di daftar.
Alhasil, saya harus menunggu lama untuk dapat giliran, karena di daftar urutan
pemanggilan saya
berada di bagian bagian terakhir
(sekitar nomor 115 dari 150 orang).
Sambil menunggu, saya memakai waktu untuk berkenalan
dengan sesama camaba yang juga akan
mengikuti wawancara. Saya mencoba mengulik-ngulik
bagaimana diri mereka masing-masing. Background
mereka macam-macam. Ada yang anak yatim atau anak piatu. Ada yang datang ditemenin orang tuanya. Ada yang merantau dari NAD , Riau , Sumbar , bahkan
Sumsel. Ada
yang coba sbm juga (sama seperti
saya). Ada
yang gak seharunsya ikut ukt berkeadilan (karna dia ‘orang yang berkecukupan’)
dan lain-lain.
Tak hanya menunggu, saya juga mengajak satu orang (laki-laki, kalau saya gak
salah dia mahasiswa Teknik Telekomunikasi Pagi) untuk mengelilingi
kompleks kampus.
Kami melihat-lihat bagaimana mahasiswa melaksanakan praktikum di lab atau
bengkelnya masing-masing, termasuk
mahasiswa teknik sipil yang sedang melakukan pengecoran dan menguji kuat tarik beton.
Saya nekat masuk ke dalam bengkel tersebut dan sedikitnya mulai
bertanya kepada mereka bagaimana jalannya
praktikum
di teknik sipil. Saya bergumam, “Wah,
nanti bakalan kayak begini nih saya..”.
Ada rasa cinta yang sedikitnya mulai timbul saat saya melihat mereka
mengerjakan aktivitas mereka sebagai mahasiswa.
Tapi, keinginan benar-benar tak bisa
ditutupi. Puas berkeliling hingga menjelang
jam 1, saya tiba-tiba terpikir mengenai hasil dari sbm saya. Yang
pada pagi tadinya saya apatis, seketika saat itu berubah menjadi sangat
antusias.
Benar saja,
pikiran pikiran negatif selalu saja muncul. Selalu saja terlintas di pikiran
saya, semacam ucapan dari semacam deretan pemain sepak bola yang sedang berbaris
panjang kemudian satu persatu mereka meneriaki saya sambil menggoyang goyangkan
badannya, “Haha gak lulus sbm. Haha.”.
Namun, saya mencoba
untuk menghilangkan pikiran-pikiran semacam itu. Saya tanamkan dalam kepala dan
hati saya, bahwa kelulusan sbm ini pasti juga ditentukan oleh
nasib baik seseorang. Siapapun bisa lulus sbm, jika memang dia ditakdirkan
untuk lulus oleh Allah. Siapapun bisa mendapatkan impian dan apa yang dia mau,
jika memang dia ditakdirkan oleh Allah untuk mendapatkannya. Tidak ada yang tidak mungkin.
Adzan Zhuhur tiba.
Saya dan teman saya yang tadi bergegas menuju gelanggang di politeknik untuk
sholat berjama’ah (saat itu kalau tidak salah masjid sedang dalam
rekonstruksi). Seusai sholat, entah kenapa saya langsung berdo’a dengan sebenar-benarnya
kepada Allah. Biasanya saya juga berdo’a
sehabis sholat agar kiranya diberikan kelulusan, namun tak pernah selama saat
itu.
“Saya
benar-benar ingin lulus. Saya benar-benar ingin membanggakan semua orang yang
saya sayangi. Saya ingin meraih impian dan cita-cita yang saya idamkan. Tapi andaikan
Engkau tak mengizinkan, yakinkanlah hati hamba bahwa itu bukanlah yang terbaik
untuk hamba, berikanlah jalan yang sebaik-baiknya untuk hamba, dan berikanlah
kekuatan untuk hamba sehingga bisa menerima semuanya sebagai takdir yang Engkau tetapkan untuk hamba”. Kira-kira kalimat do’anya begitu. Saya mencoba untuk
pasrah dan ikhlas bagaimanapun hasilnya.
Saya keluar
dari gelanggang. Sudah
pukul 13.15. Saya mulai merasakan
bahwa jantung saya
tiba-tiba berdegup kencang. Tangan dan kaki
saya mulai dingin. Tubuh saya benar-benar lemas, apalagi saat itu
sedang bulan Ramadhan.
Kemudian saya melihat langit yang mulai mendung saat itu. “Wah, pertanda
baik atau buruk nih?” batin saya.
Karena mendung, saya dan teman saya langsung kembali ke
tempat kami menunggu di awal. Sampai di
sana, saya mulai membuka group chat lagi. Yang saya lihat ya seperti biasa,
banyak orang yang pansos dan ngejoke jual jasa bukain hasil sbm, lulus di
universitas peternakan lele, bikin prank link buka website pengumuman sbm
rupanya itu link situs dewasa, ngepost foto countdown sbm yang nunjukin
waktunya udah 00-00-00-00 atau malah setahun kemudian, dsb.
Jam 14.00. Cuaca
saat itu di Medan sudah sangat mendung. Tiba saatnya dimana
pengumuman sbm akan dirilis. Saat itu, saya masih menunggu antrian untuk
melaksanakan wawancara ukt, karna
urutan saya masih belum sampai. Saya melihat beberapa
orang di sekitar saya
sudah sibuk membuka ponselnya untuk melihat hasilnya. Saya yang sedari tadi
melihat group chat di LINE,
melihat mereka mereka yang sudah
meng-update hasilnya. Ada yang lulus dan banyak yang tidak lulus. Awalnya saya tidak berniat membuka hasilnya sekarang,
karena yakin bahwa websitenya akan error karena terlalu banyak dibuka pada saat
bersamaan. Namun, karna saya mulai merasa gulana, saya putuskan untuk mencoba
membukanya dari ponsel saya sendiri.
Saya membuka
website dan memasukkan nomor peserta. Dan seperti yang diduga, hasilnya error. Bukan cuma karena banyak yang membuka website,
ponsel saya sendiri
bukanlah
ponsel yang terlalu canggih, tidak
mendukung sinyal 4G, dan entah kenapa sinyal saat itu sedang tidak stabil
di politeknik. Terlebih lagi, ponsel saya saat itu lambat sekali
jalannya karena ada banyak sekali notifikasi dari group chat. Berkali-kali
saya mencoba untuk membukanya sendiri, tapi tidak bisa. Saya pun meminta tolong
pada teman yang ada di sebelah saya
untuk membuka hasil sbm saya, namun hasilnya juga sama,
error.
Kemudian saya membuka group chat teman sekelas SMA saya.
Saya melihat beberapa dari mereka sudah meng-update hasilnya. Ada yang tidak
lulus dan ada yang lulus. Bahkan, ada teman sekelas saya yang sudah memastikan
lulus di Teknik Sipil USU, yang juga jadi pilihan saya. Seketika, saya sempat merasa bahwa saya
tak akan lulus di sbm pilihan pertama.
Lalu, saya menghubungi Ibu di rumah, di wilayah Pancur Batu, Deli Serdang.
Sebelum pergi ke politeknik,
saya sebenarnya memang sudah meminta
kepada Ibu untuk mengecek hasil sbm saya di rumah, andai saja hal
yang seperti sekarang ini akan terjadi. Ibu
mencoba membuka dan mengatakan bahwa hasilnya juga
error. Saya mengabarkan hasil sbm dari beberapa teman saya kepada Ibu, termasuk
mereka yang sudah lulus di jurusan yang saya inginkan. Ibu bilang kalau soal
itu gak usah terlalu dipikirkan.
Lalu, saya mengusulkan kepada Ibu
untuk meminta tolong kepada
sepupu saya yang tinggal di Medan
Johor. Setahu saya, hp-nya itu ya lumayan
canggih lah dibandingkan kami
sekeluarga, sinyal di daerahnya bagus, terlebih lagi orangnya update banget
kalau mau kasi kabar. Ibu menyetujui dan menutup telpon. Saya cuma bisa menunggu sambil melihat
beberapa orang di sekitar saya yang
sudah bersorak karena kelulusannya di sbm. Saya juga melihat beberapa dari
teman-teman saya
yang sudah meng-update kelulusannya di sosmed mereka masing-masing. Saya benar-benar
semakin down saat itu. “Ah, kayaknya gak iya ini.
Udahlah.”
Tiba-tiba, masuk telfon dari Ayah. Saya heran, “Tumben tumbenan Papa yang nelfon,” batin saya. Saya menjawab telfon dan
ternyata Ibu yang menjawab telfon itu. Ibu mengatakan :
“Bang?!”
“Apa, Ma?”
“Lulus, Bang !!”
“Ha? Lulus? Yang betul?”
“Iya, betul.”
“Lulus dimana?!”, tanya saya. (Saya langsung bertanya
begitu karna saya memang hanya mengharapkan kelulusan di pilihan pertama saja.
Andai saya lulus di pilihan kedua atau ketiga, saya tetap akan melanjutkan ke
politeknik)
Ibu saya
sejenak terdiam. Tidak menjawab.
Hal itu membuat saya gusar sambil berdebar-debar
selama beberapa detik.
Tapi perlahan-lahan saya mendengar
suara yang agak putus-putus.
“Tekk- teknik teknikk..”
Sontak saya terdiam mendengarnya.
Teknik?
Dari semua jurusan yang saya pilih, hanya ada satu
yang berbau teknik.
Teknik Sipil.
“Benar-nya
ini?”. Saya hampir menangis saat itu.
“Teknik Sipil USU, Bang !! Lulus di
Teknik Sipil USU...” kata Ibu saya
dengan jelas setelah saya sempat melongo
selama beberapa detik.
Saya yang
awalnya terduduk langsung tertidur sambil menutup wajah. Terus terusan saya
bertanya, “Betulnya? Betulnya? Betulnya ini?”. Saya mencoba mengumpulkan
kepercayaan dalam diri saya bahwa apa yang dikatakan oleh Ibu adalah sebuah
kebenaran. Saya kemudian mengambil posisi agak jauh dari tempat duduk saya dan
kemudian langsung sujud syukur selama setengah menit. Saya bangun dan saya
langsung diberikan selamat oleh beberapa orang di sekitar saya.
Tak lama
setelah itu, saya menelpon Ibu lagi. Saya bertanya apakah saya akan tetap
menunggu antrian untuk mengikuti wawancara ukt atau tidak. Kata Ibu saya,
“Diikuti saja. Supaya menambah pengalaman.”. Saya pun setuju, dan tak lama
kemudian nama saya dipanggil untuk mengikuti wawancara. Pada saat wawancara,
saya menjawab dengan sejujur-jujurnya dan sebagaimana apa yang terjadi
sebenarnya. Saya juga menyerahkan dokumen-dokumen yang pihak pewawancara minta.
Setelah
selesai, saya keluar dan menjumpai teman saya yang tadi. Saya sebentar
bercengkerama dengan beberapa orang lain (yang baru saya kenal juga) dan
melihat hasil sbm versi full di file pdf. Tak lama setelah itu, saya berpamitan
kepada mereka semua dan memberikan semangat agar kami semua menjadi orang yang
sukses.
Saya berjalan
keluar politeknik menuju jalan raya (keluar lingkungan kampus) sendirian.
Situasi sudah hujan rintik-rintik dan saya lupa membawa jaket. Saya ke pintu
gerbang kompleks kampus dan bingung mau pergi kemana setelah ini. Setelah beberapa menit, barulah saya
memutuskan ingin pergi kemana, yaitu pergi ke sebuah bimbel, dimana disana
terdapat tentor yang pernah mengajari saya dan membantu saya untuk mempelajari
materi-materi sbm.
Saya dulu gak
punya kendaraan pribadi. Saya juga dulu masih gak ngerti pake transportasi
online. Jadi saya naik becak yang mangkalnya gak jauh dari tempat saya makan
batagor tadi ke lokasi bimbel tersebut. Sesampainya disana, saya mengabarkan ke
tentor yang dimaksud dan satu orang admin (yang kebetulan saya kenal juga).
Mereka pun ikut turut senang akan apa yang saya dapatkan tersebut.
Tak lama
setelah itu, sekitar jam 4 sore, ternyata hasil dari tes pemeriksaan kesehatan
di politeknik pun rilis. Di dalam hasil tersebut, tertera nama saya, yang
menyatakan bahwa saya dinyatakan gagal untuk diterima sebagai mahasiswa teknik
sipil karena saya dinyatakan buta warna total oleh pihak pemeriksa. Di bawah
tertulis, bagi yang namanya tertera di atas harap segera menghubungi politeknik
(mungkin untuk mengurus pemindahan jurusan). Namun, karena saya sudah
dinyatakan lulus di Teknik Sipil
Universitas Sumatera Utara,
saya tidak mengurus pemindahan jurusan tersebut.
Sekitar jam
4, saya sholat Ashar di tempat. Setelah itu, saya pamitan pulang dengan tentor
dan admin. Saya pulang naik angkot dan langsung tiba di rumah dengan selamat.
Kalau gak salah, sampai di rumah, saya buka puasanya pakai makanan kesukaan
saya yang “mungkin” memang sengaja dibelikan oleh Ibu saya pada saat itu,
lontong + bubur pulut hitam + es koteng + teh manis hangat. Saya bersyukur,
sangat bersyukur. Perasaan itu masih terus berlanjut hingga malam. Malam qiyamu
ramadhan saat itu jadi terasa sangat berbeda. Sebelumnya, saya begitu banyak
mengucapkan do’a yang isinya adalah harapan. Di hari itu hingga seterusnya,
saya begitu banyak menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya di
dalam do’a itu, tentunya diiringi oleh harapan akan impian saya selanjutnya.
Saya sadar,
bahwa saya bahagia akan apa yang saya dapatkan. Namun, secepatnya kembali saya
sadar, bahwa ini adalah gerbang menuju jalan yang baru. Tak ada waktu untuk
terlena, karena tantangan lebih besar tentunya sudah siap menanti.
Sudah
faktanya, bahwa tidak semua orang yang ikut SBMPTN akan lulus SBMPTN juga.
Pasti akan ada yang gagal, bahkan banyak. Memang, saya tidak tahu bagaimana
rasanya tidak lulus SBMPTN. Mungkin saja jika saya saat itu tidak lulus, saya
tidak akan mampu menahan kesedihan saya.
Hidup memang
harus penuh dengan keikhlasan. Namun, harus saya katakan, bahwa tidak selamanya
apa yang menurut kita baik adalah hal yang benar-benar baik untuk kita. Begitu
juga sebaliknya, tak selamanya hal yang menurut kita buruk adalah hal yang
benar-benar buruk untuk kita. Jika hasil yang diterima tak sesuai dengan yang
kita inginkan, jangan pernah anggap bahwa kita adalah kepingan dari kegagalan.
Namun, anggaplah bahwa Allah sedang menunjukkan jalan yang terbaik untuk kita. Janganlah
pernah menyerah dan terus lewati garis kehidupan yang sudah dituntunkan oleh
Allah untuk kita. Karena kita harus tahu, bahwa Allah lebih tahu mana yang
terbaik untuk hamba-Nya, dan apa yang diberikannya adalah yang terbaik.
-----
Mungkin
sekian cerita dari saya. Mohon maaf jika kesannya berlebihan. Saya memang selalu
menganggap hal ini adalah suatu hal yang lebih, karena saya pernah merasa bahwa
saya adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dan mungkin saja tidak
pantas untuk mendapatkannya.
Terima kasih.
Fastabiqul khairat.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Salam sejahtera
untuk kita semua.
----
Muhammad Naufal
Adly